Kajian SYUKUR dalam al-Qur’an

Oleh: Andi Purwanto

Anda acap kali memikirkan sesuatu yang tidak ada, sehingga Anda pun lupa mensyukuri yang sudah ada. Jiwa Anda mudah terguncang hanya karena kerugian materi yang mendera. Padahal, sesungguhnya Anda masih memegang kunci kebahagiaan, memiliki jembatan pengantar kebahagiaan, karunia, kenikmaan dan lain sebagainya. Maka pikirkan semua itu, dan kemudian syukurilah!

(Dr. ‘Aidh al-Qarni)

A. Pendahuluan

Kata syukur seringkali disebut-sebut oleh manusia dalam kehidupan sehari-hari. Namun tidak banyak yang mengetahui kedalaman makna kata tersebut. Kesehatan badan, keamanan Negara, sandang pangan, adanya udara dan air sudah tentu menjadi hal-hal yang harus disyukuri.Artinya, ingatlah setiap nikmat yang Allah berikan kepada kita adalah bagian dari anugrah-Nya. Jangan kira saat kita mampu berjalan dengan kedua kaki, lalu itu kita anggap hal yang sepele, sedang acapkali kaki kita menjadi bengkak bila digunakan jalan terus menerus. Begitu juga, betapa hinanya diri kita bilamana lupa mensyukuri betapa besarnya fungsi pendengaran, yang dengannya Allah menjauhkan kita dari ketulian. Mata, menjadikan kita terbebas dari kebutaan. Otak, betapa dashyatnya fungsinya yang menghindarkan kita dari kegilaan yang menghinakan. Maka pikirkan semua itu, dan kemudian syukurilah!

Kata “Syukur”  adalah kata yang berasal dari bahasa Arab. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan sebagai: (1) rasa terima kasih kepada Allah, dan (2) untunglah  (menyatakan lega, senang, dan sebagainya). Pengertian   kebahasaan   ini  tidak  sepenuhnya  sama  dengan pengertiannya menurut asal kata itu (etimologi) maupun menurut penggunaan Al-Quran atau istilah keagamaan.

Mengapa Syukur perlu dikaji?

Pertama, kata ‘syukur’ cukup mendapatkan tempat di dalam al-Qur’an. Ada beda pendapat tentang jumlah penyebutan kata syukur dalam al-Qur’an. Quraish Sihab menyebutkan kata  “syukur”  dengan  berbagai  bentuknya ditemukan sebanyak enam puluh empat  kali. Sedang, Muhammad Fu’ad ‘Abd al-Baqi’ menyebut kata syukur dengan berbagai bentuk turunannya ditemukan sebanyak 75 kali dalam 67 ayat [[1]].  Seringkali munculnya kata syukur dalam al-Qur’an pada hakikatnya ingin menunjukkan bahwa kata tersebut memang penting bagi manusia untuk diperhatikan (li al-tanbih).

Kedua, syukur adalah salah satu bentuk interaksi antara Tuhan dan hamba-Nya di bumi atas nikmat dan rizki yang telah diberikan. Kata syukur seringkali dihadapkan dengan kata kufur. Syukur merupakan relasi etik antara Allah dan manusia yang kemudian menjadi konsekuensi sementara manusia dalam merespons nikmat, rahmah dan ayat-ayat (tanda-tanda) Tuhan. Relasi etik ini merupakan ciri yang menonjol dalam pemikiran keagamaan—yang berasal dari agama Samawi, apakah itu Yahudi, Kristen atau Islam—di mana konsep tentang Tuhan pada hakikatnya bersifat etik. Dengan kata lain Tuhan bertindak terhadap manusia dengan cara yang etis, yakni dengan cara pengasih. Respons manusia terhadap sifat etis Tuhan itu berupa “rasa terima kasih” atau “syukur” itu sendiri[[2]].Walhasil, berdasarkan atas keunikan-keunikan tersebut, tampaknya cukup menarik untuk menelusuri dan mengkaji konsep syukur berlandaskan kitab suci al-Qur’an dari berbagai sisi. Dan berikut adalah sebagian diantarnya.

B. Esensi Syukur

Mengutip apa yang dikutip oleh Quraish Shihab dari Ahmad  Ibnu  Faris dalam  bukunya  Maqayis Al-Lughah menyebutkan empat arti dasar dari kata tersebut yaitu,

a. Pujian karena adanya kebaikan yang diperoleh.

Hakikatnya adalah merasa ridha atau puas dengan sedikit sekalipun, karena itu bahasa menggunakan kata in(syukur) untuk kuda yang gemuk namun hanya membutuhkan sedikit rumput. Peribahasa juga memperkenalkan ungkapan Asykar min barwaqah (Lebih bersyukur dari tumbuhan barwaqah). Barwaqah adalah sejenis tumbuhan yang tumbuh subur, walau dengan awan mendung tanpa hujan.

b. Kepenuhan dan kelebatan. Pohon yang tumbuh subur dilukiskan dengan kalimat syakarat asy-syajarat.

 c. Sesuatu yang tumbuh di tangkai pohon (parasit).

 d. Pernikahan, atau alat kelamin.

Agaknya kedua makna  terakhir  ini  dapat  dikembalikan  dasar pengertiannya  kepada  kedua  makna  terdahulu.  Makna  ketiga sejalan dengan makna pertama yang mengambarkan kepuasan dengan yang  sedikit  sekalipun,  sedang  makna  keempat dengan makna kedua,  karena  dengan   pernikahan   (alat   kelamin)   dapat melahirkan banyak anak.

Makna-makna   dasar  tersebut  dapat  juga  diartikan  sebagai penyebab dan dampaknya, sehingga kata “syukur”  mengisyaratkan:  “Siapa  yang  merasa  puas  dengan  yang sedikit, maka ia akan memperoleh banyak, lebat, dan subur.”[[3]]

Ar-Raghib Al-Isfahani salah seorang yang dikenal sebagai pakar bahasa Al-Quran menulis dalam Al-Mufradat fi Gharib al-Quran, bahwa kata “syukur” mengandung arti “gambaran dalam benak tentang nikmat dan menampakkannya ke permukaan.” Kata ini  -tulis Ar-Raghib-  menurut sementara ulama berasal dari kata “syakara” yang berarti “membuka”, sehingga ia merupakan lawan dari kata “kafara” (kufur) yang berarti menutup (salah satu artinya adalah) melupakan nikmat dan menutup-nutupinya.

Makna yang dikemukakan pakar di atas dapat diperkuat dengan beberapa ayat Al-Quran yang memperhadapkan kata syukur dengan kata kufur, antara lain dalam QS lbrahim (14): 7:

Jika kamu bersyukur pasti akan Kutambah (nikmat-Ku) untukmu, dan bila kamu kufur, maka sesungguhnya siksa-Ku amat pedih. (QS lbrahim (14): 7)

Demikian juga dengan redaksi pengakuan Nabi Sulaiman yang diabadikan Al-Quran:

Berkatalah seorang yang mempunyai ilmu dari AI Kitab[[4]]: “Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip”. Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana itu terletak di hadapannya, iapun berkata: “Ini Termasuk kurnia Tuhanku untuk mencoba aku Apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan nikmat-Nya). dan Barangsiapa yang bersyukur Maka Sesungguhnya Dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan Barangsiapa yang ingkar, Maka Sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia”. (QS An-Naml [27]: 40).

Hakikat syukur adalah “menampakkan nikmat,” dan hakikat kekufuran adalah menyembunyikannya. Menampakkan nikmat antara lain berarti menggunakannya pada tempat dan sesuai dengan yang dikehendaki oleh pemberinya, juga menyebut-nyebut nikmat dan pemberinya dengan lidah: 

Adapun terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah engkau menyebut-nyebut (QS Adh-Dhuha [93]: ll).

Sementara itu, dalam salah satu ayatnya Allah SWT. Berfirman:

“Bersyukurlah kepada-Ku dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku” (QS Al-Baqarah [2]: 152

Menjelaskan bahwa ayat ini mengandung perintah untuk mengingat Tuhan tanpa melupakannya, patuh kepada-Nya tanpa menodainya dengan kedurhakaan. Syukur orang demikian lahir dari keikhlasan kepada-Nya, dan karena itu, ketika setan menyatakan bahwa, “Demi kemuliaan-Mu, Aku akan menyesatkan mereka (manusia) semuanya” (QS Shad [38]: 82), dilanjutkan dengan pernyataan pengecualian, yaitu, “kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlash di antara mereka” (QS Shad [38]: 83).

Dalam QS Al-A’raf (7): 17 Iblis menyatakan, “Dan Engkau tidak akan menemukan kebanyakan dari mereka {manusia) bersyukur.” Kalimat “tidak akan menemukan” di sini serupa maknanya dengan pengecualian di atas, sehingga itu berarti bahwa orang-orang yang bersyukur adalah orang-orang yang mukhlish (tulus hatinya).

Dengan demikian syukur mencakup tiga sisi:
a. Syukur dengan hati, yaitu kepuasan batin atas anugerah.
b. Syukur dengan lidah, dengan mengakui anugerah dan memuji pemberinya.
c. Syukur dengan perbuatan, dengan memanfaatkan anugerah yang diperoleh sesuai dengan tujuan penganugerahannya.

C. Syukur Kepada Tuhan dan Kedua Ibu Bapak

Pada prinsipnya segala bentuk kesyukuran harus ditujukan kepada Allah SWT Al-Quran memerintahkan umat Islam untuk bersyukur setelah menyebut beberapa nikmat-Nya,

Maka ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat pula kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku (QS Al-Baqarah [2]: 152).

Dalam Q.S Luqman (31): 12 dinyatakan,

Dan sesungguhnya Kami telah menganugerahkan kepada Luqman hikmah, yaitu: “Bersyukurlah kepada Allah. Dan barang siapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk (manfaat) dirinya sendiri.”

Namun demikian, walaupun kesyukuran harus ditujukan kepada Allah, dan ucapan syukur yang diajarkan adalah “alhamdulillah” dalam arti “segala puji (hanya) tertuju kepada Allah,” namun ini bukan berarti bahwa kita dilarang bersyukur kepada mereka yang menjadi perantara kehadiran nikmat Allah. Al-Quran secara tegas memerintahkan agar mensyukuri Allah dan mensyukuri kedua orang tua (yang menjadi perantara kehadiran kita di pentas dunia ini.) ([5])

Surat Luqman (31): 14 menjelaskan hal ini, yaitu dengan firman-Nya:

Bersyukurlah kepada-Ku, dan kepada dua orang ibu bapakmu; hanya kepada-Kulah kembalimu.

Walaupun Al-Quran hanya menyebut kedua orangtua -selain Allah- yang harus disyukuri, namun ini bukan berarti bahwa selain mereka tidak boleh disyukuri.

“Siapa yang tidak mensyukuri manusia, maka dia tidak mensyukuri Allah” (Begitu bunyi suatu riwayat yang disandarkan kepada Rasul Saw).

D. Siapa yang Disyukuri Tuhan?

Al-Quran juga berbicara menyangkut siapa dan bagaimana upaya yang harus dilakukan sehingga wajar disyukuri. Dua kali kata “masykur”  dalam arti yang disyukuri terulang dalam Al-Quran.

Pertama,

Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), maka Kami segerakan baginya di dunia ini apa yang Kami kehendaki bagi orang-orang yang Kami kehendaki, dan Kami tentukan baginya neraka Jahannam, ia akan memasukinya dalam keadaaan tercela dan terusir. Dan barangsiapa yang menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh sedang ia adalah Mukmin, maka mereka itu adalah orang-orang yang usahanya disyukuri (dibalas dengan baik). Kepada masing-masing golongan baik yang ini (menghendaki dunia saja) maupun yanp itu (yang menghendaki akhirat melalui usaha duniawi), Kami berikan bantuan dari kemewahan Kami. Dari kemurahan Tuhanmu tidak dapat dihalangi (QS Al-Isra’ [17]: 18-20)

Kedua,

Sesungguhnya ini adalah balasan untukmu, dan usahamu adalah disyukuri (QS Al-Insan [76]: 22).

Isyarat “ini” dalam ayat di atas adalah berbagai kenikmatan surgawi yang dijelaskan oleh ayat-ayat sebelumnya, dari ayat 12 sampai dengan ayat 22 surat 76 (Al-Insan).

Surat Al-Isra’ ayat 18-20 berbicara tentang dua macam usaha yang lahir dari dua macam visi manusia. Ada yang visinya terbatas pada “kehidupan sekarang”, yakni selama hidup di dunia ini, tidak memandang jauh ke depan. “Kehidupan sekarang” diartikan detik dan jam atau hari dekat hidupnya, boleh jadi juga “sekarang” berarti masa hidupnya di dunia yang mengantarkannya bervisi hanya puluhan tahun. Ayat di atas menjanjikan bahwa jika mereka berusaha akan memperoleh sukses sesuai dengan usahanya; itu pun bila dikehendaki Allah. Tetapi setelah itu mereka akan merasa jenuh dan mandek, karena keterbatasan visi tidak lagi mendorongnya untuk berkreasi. Nah, ketika itulah lahir rutinitas yang pada akhirnya melahirkan kehancuran.

Hakikat ini bisa terjadi pada tingkat perorangan atau masyarakat. Kejenuhan dengan segala dampak negatif yang dialami oleh anggota masyarakat bahkan masyarakat secara umum di dunia yang menganut paham sekularisme –setelah mereka mencapai sukses duniawi– merupakan bukti nyata dari kebenaran hakikat yang diungkapkan Al-Quran di atas. Tetapi jika pandangan kita jauh ke depan, visi seseorang atau masyarakat melampaui kehidupan dunianya, maka ia tidak pernah akan berhenti-bagai seseorang yang menggantungkan cita-citanya melampaui ketinggian bintang. Ketika itu dia akan terus berusaha dan berkreasi, sehingga tidak pernah merasakan kejenuhan, karena di balik satu sukses masih dapat diraih sukses berikutnya. Memang Allah menjajikan untuk terus-menerus dan sementara menambah petunjuk-Nya bagi mereka yang telah mendapat petunjuk([6]).

Dan Allah sementara menambah petunjuk-Nya bagi orang-orang yang mendapat petunjuk (QS Maryam [19]: 76).

Orang yang demikian itulah yang semua usahanya disyukuri Allah. Mereka yang disyukuri itu akan memperoleh surga sebagaimana dilukiskan oleh kata masykur”  pada ayat kedua yang menggunakan kata ini, yakni surat Al-Insan ayat 22.

E. Syukur Mendatangkan Kebaikan Kepada Diri Sendiri

Al-Quran secara tegas menyatakan bahwa manfaat syukur kembali kepada orang yang bersyukur, sedang Allah SWT sama sekali tidak memperoleh bahkan tidak membutuhkan sedikit pun dari syukur makhluk-Nya.

Dan barangsiapa yang bersyukur, maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri, dan barangsiapa yang kufur (tidak bersyukur), maka sesungguhnya Tuhanku Mahakaya (tidak membutuhkan sesuatu) lagi Mahamulia (QS An-Naml [27]: 40)

Karena itu pula, manusia yang meneladani Tuhan dalam sifat-sifat-Nya, dan mencapai peringkat terpuji, adalah yang memberi tanpa menanti syukur (balasan dari yang diberi) atau ucapan terima kasih.

Al-Quran melukiskan bagaimana satu keluarga (menurut riwayat adalah Ali bin Abi Thalib dan istrinya Fathimah putri Rasulullah saw) memberikan makanan yang mereka rencanakan menjadi makanan berbuka puasa mereka, kepada tiga orang yang membutuhkan dan ketika itu mereka menyatakan bahwa,

Sesungguhnya kami memberi makanan untukmu hanyalah mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan darimu, dan tidak pula pujian (ucapan terima kasih) (QS Al-Insan [76]: 9).

Walaupun manfaat syukur tidak sedikit pun tertuju kepada Allah, namun karena kemurahan-Nya, Dia menyatakan diri-Nya sebagai Syakirun ‘Alim (QS Al-Baqarah [2]: 158), dan Syakiran Alima (QS An-Nisa’ [4]: 147), yang keduanya berarti, Maha Bersyukur lagi Maha Mengetahui, dalam arti Allah akan menganugerahkan tambahan nikmat berlipat ganda kepada makhluk yang bersyukur.

F. Bagaimana Cara Bersyukur?

Di atas telah dijelaskan bahwa ada tiga sisi dari syukur, yaitu dengan hati, lidah, dan anggota tubuh lainnya. Berikut akan dirinci penjelasan tentang masing-masing sisi tersebut.([7])

a. Syukur dengan hati

Syukur dengan hati dilakukan dengan menyadari sepenuhnya bahwa nikmat yang diperoleh adalah semata-mata karena anugerah dan kemurahan Ilahi. Syukur dengan hati mengantar manusia untuk menerima anugerah dengan penuh kerelaan tanpa menggerutu dan keberatan betapapun kecilnya nikmat tersebut. Syukur ini juga mengharuskan yang bersyukur menyadari betapa besar kemurahan, dan kasih sayang Ilahi sehingga terlontar dari lidahuya pujian kepada-Nya.

Seorang yang bersyukur dengan hatinya saat ditimpa mala petaka pun, boleh jadi dapat memuji Tuhan, bukan atas malapetaka itu, tetapi karena terbayang olehnya bahwa yang dialaminya pasti lebih kecil dari kemungkinan lain yang dapat terjadi. Dari sini syukur –seperti makna yang dikemukakan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang dikutip di atas– diartikan oleh orang yang bersyukur dengan “untung” (merasa lega, karena yang dialami lebih ringan dari yang dapat terjadi).

Dari kesadaran tentang makna-makna di atas, seseorang akan tersungkur sujud untuk menyatakan perasaan syukurnya kepada Allah. Sujud syukur adalah perwujudan dari kesyukuran dengan hati, yang dilakukan saat hati dan pikiran menyadari betapa besar nikmat yang dianugerahkan Allah. Bahkan sujud syukur dapat dilakukan saat melihat penderitaan orang lain dengan membandingkan keadaannya dengan keadaan orang yang sujud. (Tentu saja sujud tersebut tidak dilakukan dihadapan si penderita itu).

Sujud syukur dilakukan dengan meletakkan semua anggota sujud di lantai yakni dahi, kedua telapak tangan, kedua lutut dan kedua ujung jari kaki) seperti melakukan sujud dalam shalat. Hanya saja sujud syukur cukup dengan sekali sujud, bukan dua kali sebagaimana dalam shalat. Karena sujud itu bukan bagian dan shalat, maka mayoritas ulama berpendapat bahwa sujud sah walaupun dilakukan tanpa berwudu, karena sujud dapat dilakukan sewaktu-waktu dan secara spontanitas. Namun tentunya akan sangat baik bila melakukan sujud disertai dengan wudu.

b. Syukur dengan lidah

Syukur dengan lidah adalah mengakui dengan ucapan bahwa sumber nikmat adalah Allah sambil memuji-Nya. Al-Quran, seperti telah dikemukakan di atas, mengajarkan agar pujian kepada Allah disampaikan dengan redaksi “al-hamdulillah.”

Hamd (pujian) disampaikan secara lisan kepada yang dipuji, walaupun ia tidak memberi apa pun baik kepada si pemuji maupun kepada yang lain.

Kata “al” pada “al-hamdulillah” oleh pakar-pakar bahasa disebut al lil-istighraq, yakni mengandung arti “keseluruhan”. Sehingga kata “al-hamdu” yang ditujukan kepada Allah mengandung arti bahwa yang paling berhak menerima segala pujian adalah Allah SWT, bahkan seluruh pujian harus tertuju dan bermuara kepada-Nya.

Jika kita mengembalikan segala puji kepada Allah, maka itu berarti pada saat Anda memuji seseorang karena kebaikan atau kecantikannya, maka pujian tersebut pada akhirnya harus dikembalikan kepada Allah SWT, sebab kecantikan dan kebaikan itu bersumber dari Allah. Di sisi lain kalau pada lahirnya ada perbuatan atau ketetapan Tuhan yang mungkin oleh kacamata manusia dinilai “kurang baik”, maka harus disadari bahwa penilaian tersebut adalah akibat keterbatasan manusia dalam menetapkan tolok ukur penilaiannya. Dengan demikian pasti ada sesuatu yang luput dari jangkauan pandangannya sehingga penilaiannya menjadi demikian. Walhasil, syukur dengan lidah adalah “al- hamdulillah” (segala puji bagi Allah).

c. Syukur dengan perbuatan

Nabi Daud a.s. beserta putranya Nabi Sulaiman a.s. memperoleh aneka nikmat yang tiada taranya. Kepada mereka sekeluarga Allah berpesan,

 Bekerjalah wahai keluarga Daud sebagai tanda syukur! (QS Saba [34]: 13).

Yang dimaksud dengan bekerja adalah menggunakan nikmat yang diperoleh itu sesuai dengan tujuan penciptaan atau penganugerahannya. Ini berarti, setiap nikmat yang diperoleh menuntut penerimanya agar merenungkan tujuan dianugerahkannya nikmat tersebut oleh Allah([8]). Ambillah sebagai contoh lautan yang diciptakan oleh Allah SWT. Yang ditemukan dalam al-Quran penjelasan tentang tujuan penciptaannya melalui firman-Nya:

 Dialah (Allah) yang menundukkan lautan (untuk kamu) agar kamu dapat memakan darinya daging (ikan) yang segar, dan (agar) kamu mengeluarkan dan lautan itu perhiasan yang kamu pakai, dan kamu melihat bahtera berlayar padanya, dan supaya kamu mencari karunia-Nya (selain yang telah disebut) semoga kamu bersyukur (QS An-Nahl [16]: 14).

Ayat ini menjelaskan tujuan penciptaan laut, sehingga mensyukuri nikmat laut, menuntut dari yang bersyukur untuk mencari ikan-ikannya, mutiara dan hiasan yang lain, serta menuntut pula untuk menciptakan kapal-kapal yang dapat mengarunginya, bahkan aneka pemanfaatan yang dicakup oleh kalimat “mencari karunia-~Nya”.

Dalam konteks inilah terutama realisasi dan janji Allah,

Apabila kamu bersyukur maka pasti akan Kutambah (nikmat-Ku) (QS Ibrahim [14]: 7)

Betapa anugerah Tuhan tidak akan bertambah, kalau setiap jengkal tanah yang terhampar di bumi, setiap hembusan angin yang bertiup di udara, setiap tetes hujan yang tercurah dan langit dipelihara dan dimanfaatkan oleh manusia?

Di sisi lain, lanjutan ayat di atas menjelaskan bahwa “Kalau kamu kufur (tidak mensyukuri nikmat atau menutupinya tidak menampakkan nikmatnya yang masih terpendam di perut bumi, di dasar laut atau di angkasa), maka sesungguhnya siksa-Ku amat pedih.”

Suatu hal yang menarik untuk disimak dari redaksi ayat ini adalah kesyukuran dihadapkan dengan janji yang pasti lagi tegas dan bersumber dari-Nya langsung (QS Ibrahim [14):7) Tetapi akibat kekufuran hanya isyarat tentang siksa; itu pun tidak ditegaskan bahwa ia pasti akan menimpa yang tidak bersyukur(QS Ibrahim [14]:7).

Siksa dimaksud antara lain adalah rasa lapar, cemas, dan takut

Allah telah membuat satu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezekinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap penjuru, tetapi (penduduknya) kufur (tidak bersyukur atau tidak bekerja untuk menampakkan) nikmat-nikmat Allah (yang terpendam). Oleh karena itu, Allah menjadikan mereka mengenakan pakaian kelaparan dan ketakutan disebabkan oleh perbuatan (ulah) yang selalu mereka lakukan (QS An-Nahl [16]: 112).

Pengalaman pahit yang dilukiskan Allah ini, telah terjadi terhadap sekian banyak masyarakat bangsa, antara lain, kaum Saba -satu suku bangsa yang hidup di Yaman dan yang pernah dipimpin oleh seorang Ratu yang amat bijaksana, yaitu Ratu Balqis Surat Saba (34): 15-19 menguraikan kisah mereka, yakni satu masyarakat yang terjalin persatuan dan kesatuannya, melimpah ruah rezekinya dan subur tanah airnya. Negeri merekalah yang dilukiskan oleh Al-Quran dengan Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur. Mereka pulalah yang diperintah dalam ayat-ayat tersebut untuk bersyukur, tetapi mereka berpaling dan enggan sehingga akhirnya mereka berserak-serakkan, tanahnya berubah menjadi gersang, komunikasi dan transportasi antar kota-kotanya yang tadinya lancar menjadi terputus, yang tinggal hanya kenangan dan buah bibir orang saja. Demikian uraian Al-Quran. Dalam konteks keadaan mereka, Allah berfirman,

Demikianlah Kami memberi balasan kepada mereka disebabkan kekufuran (keengganan bersyukur) mereka. Kami tidak menjatuhkan siksa yang demikian kecuali kepada orang-orang yang kufur(QS Saba [34]: 17).

Itulah sebagian makna firman Allah yang sangat populer:

Jika kamu bersyukur pasti akan Kutambah (nikmat-Ku) untukmu, dan bila kamu kufur, maka sesungguhnya siksa-Ku amat pedih (QS Ibrahim [14]: ayat 7).

G. Apa yang Harus Disyukuri?

Pada dasarnya segala nikmat yang diperoleh manusia harus disyukurinya. Nikmat diartikan oleh sementara ulama sebagai “segala sesuatu yang berlebih dari modal Anda”. Adakah manusia memiliki sesuatu sebagai modal? Jawabannya, “Tidak”. Bukankah hidupnya sendiri adalah anugerah dari Allah?([9])

Nikmat Allah demikian berlimpah ruah, sehingga al-Quran menyatakan,

Seandainya kamu (akan) menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan sanggup menghitungnya (QS Ibrahim [14]: 34).

Dalam beberapa ayat lainnya disebut sekian banyak nikmat secara eksplisit, antara lain:

1. Kehidupan dan kematian

Bagaimana kamu mengkufuri (tidak mensyukuri nikmat) Allah, padahal tadinya kamu tiada, lalu kamu dihidupkan, kemudian kamu dimatikan, lalu dihidupkan kembali. (QS Al-Baqarah [2]: 28).

2. Hidayah Allah

Hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur (QS Al-Baqarah [2]: 185).

3. Pengampunan-Nya, antara lain dalam firman-Nya:

Kemudian setelah itu Kami maafkan kesalahanmu agar kamu bersyukur (QS Al-Baqarah [2]: 52)

4. Pancaindera dan akal

Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberimu pendengaran, penglihatan, dan hati, supaya kamu bersyukur (QS An-Nahl [16]: 78).

5.Rezeki 

Dan diberinya kamu rezeki yang baik-baik agar kamu bersyukur (QS Al-Anfal [8]: 26).

6. Sarana Pra Sarana

Dan Dialah (Allah) yang menundukkan lautan (untukmu) agar kamu dapat memakan daging (ikan) yang segar darinya, dan kamu mengeluarkan dan lautan itu perhiasan yang kamu pakai, dan kamu melihat bahtera berlayar padanya, dan supaya kamu mencari (keuntungan) dan karunia-Nya, dan supaya kamu bersyukur (QS An-Nahl [16]: 14) .

7. Kemerdekaan

Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada kaumnya, “Hai kaumku, ingatlah nikmat Allah atas kamu ketika Dia mengangkat nabi-nabi di antaramu, dan dijadikannya kamu orang-orang yang merdeka (bebas dari penindasan Fir’aun) (QS Al-Maidah [5]: 20)

8. Pemberian Air yang Sejuk dan Tawar

Maka Terangkanlah kepadaku tentang air yang kamu minum. Kamukah yang menurunkannya atau kamikah yang menurunkannya? Kalau Kami kehendaki, niscaya Kami jadikan Dia asin, Maka Mengapakah kamu tidak bersyukur? (Q.S Al-Waqi’ah (56):68-70)

Masih banyak lagi nikmat-nikmat lain yang secara eksplisit disebut oleh Al-Quran. Dalam surat Ar-Rahman (surat ke-55), Al-Quran membicarakan aneka nikmat Allah dalam kehidupan dunia ini dan kehidupan akhirat kelak. Hampir pada setiap dua nikmat yang disebutkan. Quran mengulangi satu pertanyaan dengan redaksi yang sama yaitu,    Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu ingkari?

Pertanyaan tersebut terulang sebanyak tiga puluh satu kali. Para ulama menyusun semacam “rumus”, yaitu siapa yang mampu mensyukuri nikmat-nikmat Allah, maka ia akan selamat dari ketujuh pintu neraka, sekaligus dia dapat memilih pintu-pintu mana saja dari kedelapan pintu surga, baik surga pertama maupun surga kedua, baik Surga (kenikmatan duniawi) maupun kenikmatan ukhrawi([10]).

H. Konsekuensi tidak bersyukur

Sedangkan berkaitan dengan aktivitas tidak mau bersyukur, maka terlebih dahulu kita harus kembali pada Q.S. Ibrahim (14):7, wa la’in kafartum inna ‘azabi lasyadid sebagai perbandingan atau lawan dari la’in syakartum la azidannakum.  Dalam hal ini, al-Sya’rawi memunculkan pertanyaan, apakah orang yang tidak bersyukur atas nikmat Allah disebut kafir?

Menurut al-Sya’rawi, seharusnya dibedakan dulu antara  kata al-kufru dan al-kufran. Kata al-kufru dalam ayat ini hadir untuk memperkasar makna “tidak adanya syukur” (‘adam al-syukr) sehingga ayat ini tidak menggunakan kata al-kufran. Kata kufur adalah lawan dari kata syukur, yakni mengingkari nikmat Allah. Dan sudah barang tentu perilaku kufur  akan mendapatkan azab kufur, yakni siksa Allah yang pasti pedih, sebab siksa Allah sebanding dengan kadar dosa orang yang diazab.([11])

Di samping itu, dalam menjelaskan konsekuensi tidak mau bersyukur al-Sya’rawi juga menafsirkan  Q.S. al-Baqarah (2):211,

Tanyakanlah kepada Bani Israil: “Berapa banyaknya tanda-tanda (kebenaran)[[12]] yang nyata, yang telah Kami berikan kepada mereka”. dan Barangsiapa yang menukar nikmat Allah[[13]] setelah datang nikmat itu kepadanya, Maka Sesungguhnya Allah sangat keras siksa-Nya.

Mula-mula dalam menafsirkan ayat ini, al-Sya’rawi bertanya: “Bagaimana manusia bisa mengganti nikmat Allah?” Sesungguhnya ketika nikmat Allah itu diberikan kepada makhluknya, maka wajib bagi makhluk itu untuk menerimanya dengan dua syukur (syukrani). Makna dua syukur (syukrani) adalah menyandarkan nikmat tersebut kepada pemberinya dan malu untuk melakukan maksiat dari apa yang telah diberikan.

Seandainya manusia tidak menerima nikmat dengan dua syukur ini, maka itu artinya dia menggantikannya (buddilat). Oleh karena itu di dalam ayat lain Allah berfirman dalam Q.S. Ibrahim (14):28,

Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang telah menukar nikmat Allah dengan kekafiran dan menjatuhkan kaumnya ke lembah kebinasaan?,

Ketika berkaitan dengan kufur maka bersinggungan pulalah dengan iman. Jadi yang dimaksudkan ayat ini adalah agar manusia menerima nikmat disertai iman, disertai pertumbuhan dalam mendekatkan diri kepada Allah, namun mereka (Bani Israil) menggantikan nikmat dengan kufur. Dan balasannya adalah siksa yang  pedih.([14])

Demikian sekelumit uraian Al-Quran tentang syukur. Kalaulah kita tidak mampu untuk masuk dalam kelompok minoritas –orang-orang yang pandai bersyukur (atau dalam istilah Al-Quran asy-syakirun, yakni orang-orang yang telah mendarah daging dalam dirinya hakikat syukur dalam ketiga sisinya: hati, lidah, dan perbuatan)– maka paling tidak kita tetap harus berusaha sekuat kemampuan untuk menjadi orang yang melakukan syukur –atau dalam istilah Al-Quran yasykurun– betapapun kecilnya syukur itu. Karena seperti bunyi sebuah kaidah keagamaan, Sesuatu yang tidak dapat diraih seluruhnya, jangan ditinggalkan sama sekali

Engkau tiada melihat orang yang bermata terang mensyukuri kesehatan pemandangannya, melainkan setelaah matanya buta dan kemudian setealah pemandangannya itu dikembalikan, baru dia merasa  syukur dan menganngapnya suatu nimat. Karena rahmat Allah itu luas, meliputi segala makhluk dan diberikan dimana-mana dalam segala keadaaan, orang bodoh tiada akan menganggapnya suatu nikmat.

REFERENSI

1. Fachruddin Hs, H, Ensiklopedia al-Qur’an (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1992), jilid II: M-Z

2. ‘Abd al-Baqi’, Muhammad Fu’ad,  al-Mu’jam al-Mufahras li Alfaz al-Qur’an al-Karim (Beirut: Dar al-Fikr, 1992)

3.  Izutsu, Toshihiko, Relasi Tuhan dan Manusia, terj. Agus Fahri Husein dkk. (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997)

4. Shihab, M.Quraish, Tafsir Al-Misbah : Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an (Jakarta : Lentera Hati, 2002)

5. Shihab, M Quraish, Wawasan a-Qur’an (Bandung: Mizan, 2007)

6. al-Sya’rawi, Muhammad Mutawalli, Min Wasaya al-Qur’an al-Karim (Tt. Al-Maktabah al-Tauqifiyyah, 2004)

 


[1] Muhammad Fu’ad ‘Abd al-Baqi’, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfaz al-Qur’an al-Karim (Beirut: Dar al-Fikr, 1992), hlm. 489-491.

[2] Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia, terj. Agus Fahri Husein dkk. (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997), hlm. 257-258.

[3] Quraish Shihab, Wawasan a-Qur’an (Bandung: Mizan, 2007), h. 285-286.

[4]Al kitab di sini Maksudnya: ialah kitab yang diturunkan sebelum Nabi Sulaiman ialah Taurat dan Zabur.

[5] Quraish Shihab, Wawasan a-Qur’an (Bandung: Mizan, 2007), h. 288-289.

[6] Ibid., h. 311-313

[7] Ibid., h. 291-296

[8] M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah : Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an (Jakarta : Lentera Hati), Surat Saba : 13, h. 353.

[9]Quraish Shihab, Wawasan a-Qur’an (Bandung: Mizan, 2007), h. 301

[10] Ibid., h. 304-307

[11] Muhammad Mutawalli al-Sya’rawi, Min Wasaya al-Qur’an al-Karim (Tt. Al-Maktabah al-Tauqifiyyah, 2004), jilid 12,  7447-7448.h.

[12]Yaitu tanda-tanda kebenaran yang dibawa nabi-nabi mereka, yang menunjukkan kepada keesaan Allah, dan kebenaran nabi-nabi itu selalu mereka tolak.

[13] Yang dimaksud dengan nikmat Allah di sini ialah perintah-perintah dan ajaran-ajaran Allah.

[14] Muhammad Mutawalli al-Sya’rawi, Min Wasaya al-Qur’an al-Karim  (Tt. Al-Maktabah al-Tauqifiyyah, 2004),  jilid 2, h. 908-909.

One thought on “Kajian SYUKUR dalam al-Qur’an

  1. Terima kasih atas artikelnya.. sangat beemanfaat.. Alhamdulillah..

Leave a comment